LETTICA — Jakarta Ketimpangan dalam distribusi layanan kesehatan masih menjadi tantangan di Indonesia. Kondisi ini banyak ditemukan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Papua, sebagai wilayah paling timur Indonesia, contohnya. Di sana hanya ada 78 dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) dari total 3.000 yang ada di seluruh Indonesia.
“Ini adalah gambaran Papua. Ada enam provinsi di Papua, dengan 3.400 SpOG (di Indonesia) ternyata di Papua, 6 provinsi ini, ada 78. Hanya 2,5 persen dari total SpOG yang ada di Indonesia,” ungkap dokter Amira Ali Abdat, SpOG yang saat ini mengabdi di Fakfak, Papua Barat
Menurut Amira, hal ini menunjukkan distribusi dokter spesialis yang tidak seimbang. Ketimpangan ini paling terasa di wilayah pedalaman.
“Banyak sekali orang asli Papua yang ingin sekolah, bahkan tidak sedikit para dokter yang rela kembali ke daerah 3T untuk melaksanakan pengabdian,” kata Amira.
Infrastruktur Menjadi Rintangan
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5295511/original/097360500_1753446988-Screenshot__1444_.jpg)
Selama 12 tahun mengabdi di Fakfak, Amira menghadapi banyak tantangan. Termasuk tantangan terhadap medan yang harus dilalui demi menyelesaikan tugasnya.
“Tantangan dan medan yang seringkali membuat orang ingat untuk bertahan. Ternyata ini yang kita dapatkan selama beberapa tahun terakhir. Jalanan terjal, perbatuan, jurang di kanan kiri, infrastuktur yang sangat tidak merata. Belum lagi cuaca yang menjadi hambatan dalam perjalanan,” jelas Amira.
Amira mengatakan bahwa tidak ada perjuangan yang tidak menyakitkan. Ia bercerita bahwa para tenaga kesehatan (nakes) bahkan pernah tertidur di atas perahu saat melakukan perjalanan jauh untuk menemui pasien.
Motivasi yang terus ia pegang datang dari pesan gurunya sebelum ia pergi mengabdi ke Papua. Dokter, katanya, harus memegang tiga peran utama: agen perubahan, penggerak pembangunan, dan pemberi layanan.
Nakes Kerap Mendapatkan Ancaman
Salah satu tantangan lain yang dihadapi di Papua adalah ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi. Banyak warga Papua yang menganggap dokter sebagai sosok dewa yang wajib bisa menyembuhkan. Akibatnya, para nakes kerap merasa terancam.
“Ketika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang sudah maksimal, kita akan terancam. Itu yang sering terjadi,” ungkapnya.
“Pasien perlu tahu, dokter mungkin bisa mengobati, tapi tidak menyembuhkan. Karena yang menyembuhkannya Tuhan,” ujar Amira.
Untuk menghindari ancaman tersebut, Amira dan rekan-rekannya aktif menjangkau masyarakat pedalaman. Mereka menjemput pasien, memberikan edukasi, dan menyebarkan kasih sayang.
“Ini yang kita lakukan, agar tidak terancam. Sering-seringlah kita datang ke pedalaman, menjemput mereka, memberikan kasih sayang, memberi penyuluhan kepada ibu-ibu di kampung, anak-anak generasi muda,” tambah Amira.
Meski menghadapi banyak tantangan, pengabdian ini tetap menghadirkan kebahagiaan, bahkan dari hal sederhana. Salah satunya ketika melihat warga yang antusias menyambut kedatangan ia bersama tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya.
“Di ujung jalan yang tidak ada lampu, kalau malam hari tidak ada listrik, melihat kita datang, mereka bersorak gembira mereka menarik kita, itulah kebahagiaan bagi kami,” kata Amira.
Mengapa Papua Tidak Diminati untuk Pengabdian?
Amira menjelaskan beberapa alasan yang membuat Papua kurang diminati sebagai tempat pengabdian. Di antaranya:
- Lokasinya jauh
- Situasinya tidak selalu aman
- Masih ada daerah yang sangat tertinggal
Selama 12 tahun mengabdi, Amira mengaku sering kesulitan untuk sekadar menghubungi keluarganya.
“Berhari-hari tidak ada sinyal, yang saya harapkan hanya mencari sinyal E. Saya datang ke satu tempat untuk mencari sinyal E. Baru saja saya mau menanyakan bagaimana kabar mama, sudah telepon mati karena tidak ada sinyal,” jelas Amira dengan suara bergetar, mengingat momen menyedihkan tersebut.
“Saya pikir telalu banyak penegak medis lain yang mungkin lebih parah dari ini kondisinya dan masih bertahan demi manusia,” lanjut Amira.